Jumat, 31 Agustus 2007

Tamu Istimewa dari Stanford University

Jum'at 24 Agustus yang lalu, ketika STISIPOL Raja Haji sedang melaksanakan MOPSPEK di halaman Kampus dan mempersiapkan keberangkatan peserta ke Dompak, saya mendapat telpon dari seseorang di Amerika Serikat.

Beliau memperkenalkan namanya Don Emmerson dari Stanford University dan mengaku mendapat nomor ponsel saya dari Dr. Ehito Kimura, seorang peneliti muda yang juga pernah bertandang ke kantor saya.

Terus terang saya terkejut dan ada terselip rasa bangga, sebab nama Emmerson rasanya tidak asing bagi saya sejak masih di bangku kuliah dulu 20 tahun silam.

Jam 9.30 pagi Sabtu, saya jemput Dr. Donnald K. Emmerson di Pelabuhan Sri Bintan Pura langsung ke kampus STISIPOL di lembah bekas penambangan boksit Jl Raja Haji Fisabilillah Km 5,5 atas.

Ada juga rasa malu pada diri saya, kampus kami yang kecil dan gersang dikunjungi oleh tamu dari Universitas besar di Amerika. Syukurlah Prof Emmerson membesarkan hati saya dengan memberi semangat dan support untuk menjalinkan link STISIPOL dengan lembaga-lembaga riset di Amerika dan Singapore.

Kemudian kami, banyak berdiskusi tentang Indonesia dan Amerika, tentang demokrasi, dan lain-lain. Rupa-rupanya beliau sedang meneliti untuk memperkuat argumen beliau pada tulisan berjudul "What is Indonesia?" dari buku Indonesia: The Great Transition yang disunting oleh John Bresnan. Intinya, beliau sedang meneliti akar perekat Indonesia.

Baca selengkapnya...

Selasa, 14 Agustus 2007

SPMB Stisipol Bersaing Ketat

750 Calon Mahasiswa Ikut Seleksi

TANJUNGPINANG (BatamPos)
- Sekitar 750 orang calon mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang tahun ajaran 2007, Senin (13/8) mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di GOR Kaca Puri Tanjungpinang. Sekdaprov Kepri, Eddy Wijaya, dan Kadis Pendidikan Kepri, Ibnu Maja ikut hadir memantau langsung SPMB. Sekaligus, memberikan dukungan moril kepada peserta seleksi.

Karena, para peserta seleksi itu akan bersaing ketat, untuk memperebutkan kursi mahasiswa baru Stisipol, yang hanya akan menerima sekitar 300-an orang mahasiswa saja. Mereka yang bersaing untuk menjadi mahasiswa baru itu, tidak hanya pelajar SMA sederajat yang baru lulus sekolah.


Tapi juga Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan honorer di lingkungan Pemko Tanjungpinang, dan Pemprov Kepri. Bahkan, persentasenya sampai sekitar setengah dari seluruh peserta seleksi. Termasuk di dalamnya anggota DPRD Kota Tanjungpinang, juga ikut bersaing untuk bisa menjadi mahasiswa Stisipol. Yang pengumumannya dijadwalkan Sabtu (18/8) di Kampus Stisipol Jalan Raja Haji.


”Tahun ini jumlah mahasiswa baru yang kita terima sekitar 300-an orang. Untuk tiga jurusan yang ada, yaitu jurusan ilmu pemerintahan, jurusan sosiologi, dan jurusan administrasi negara. Sekarang sedang kita rancang, agar tahun depan bisa sudah bisa menerima mahasiswa untuk jurusan ilmu komunikasi,” kata Ketua Stisipol Raja Haji Tanjungpinang, Drs Zamzami A Karim MA menjawab Batam Pos, Senin (13/8).


Dengan penambahan sekitar 300-an mahasiswa baru tersebut, ujar Zamzami, maka jumlah keseluruhan mahasiswa Stisipol sekarang sekitar 1800-an orang. Seluruhnya berada di tiga jurusan, dan berkampus di Jalan Raja Haji fi Sabilillah Tanjungpinang. Hingga sekarang sudah sekitar enam kali kampus ini mewisuda mahasiswanya menjadi sarjana. (git)

Baca selengkapnya...

SEWINDU STISIPOL YANG SEDERHANA


Tanggal 11 Agustus 1999 yang lalu STISIPOL Raja Haji didirikan sebagai jawaban atas kebutuhan daerah Kepri akan sebuah Perguruan Tinggi yang akan mencetak kader bangsa yang belajar dengan mindset Global dan bertindak secara Lokal.

Tujuannya agar mengembalikan Tanjungpinang sebagai Pusat Pendidikan dan Pusat Kecemerlangan (Center of Excellence).

Kini 11 Agustus 2007, seiring dengan peringatan Isra' Mi'raj Nabi Besar Muhammad SAW, STISIPOL coba untuk bermi'raj, maju menjulang ke hadapan, menatap masa depan dan mengajak belajar dari kehidupan. Menjunjung Marwah melalui kedalaman Ilmu, Iman dan Amal. Insya Allah...

Baca selengkapnya...

SEWINDU STISIPOL dalam DUKA

Pada Sewindu STISIPOL,

Saat kami memperingati dan merenungi Usia Sewindu STISIPOL Raja Haji, 11 Agustus 1999 - 11 Agustus 2007. Kami dikejutkan berita duka, yaitu berpulangnya sahabat dan kolega kami ke hadirat Ilahi Rabbi. Dr. H. Sudirman Syamsuddin, MM, mantan Ketua STISIPOL Raja Haji sejak 1999 - 2007.

Segala jasa dan kebaikan beliau dalam memimpin STISIPOL Raja Haji semoga menjadi catatan amalan baik beliau di hadapan Allah SWT. Amiien. Selamat jalan sahabat...

Kami akan melanjutkan cita-cita beliau untuk menjadikan STISIPOL Raja Haji sebagai Perguruan Tinggi andalan yang menjunjung marwah anak negeri di Kepulauan Riau ini dan bahkan di rantau Asean. Insyaa Allah, doa kami menyertaimu, sahabat...

In Memoriam Dr. H. Sudirman Syamsuddin, MM. (51 ), wafat 11 Agustus 2007 pk 21.30 di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.

Baca selengkapnya...

Sabtu, 11 Agustus 2007

Pemekaran Wilayah bukan masalah

Dalam suatu seminar nasional yang diselenggarakan di Medan 24-27 April 2007, saya mengemukakan pendapat bahwa Pemekaran Wilayah jangan terlalu dipandang secara negatif.

Banyak contoh daerah-daerah yang dimekarkan bisa berkembang seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Walaupun kita tidak boleh menutup mata munculnya berbagai ekses negatif di beberapa
wilayah di Nusantara ini akibat konflik pemekaran wilayah.

Seminar tersebut membahas Pemekaran Wilayah Sumatera dalam Perspektif Sejarah yang diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Makalah lebih lengkap akan saya posting secara terpisah.

Hampir semua pembicara dan peserta Seminar mengutarakan kerisauan mereka tentang semakin gencarnya daerah-daerah menuntut pemekaran wilayah sejak UU No. 22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan. Memang di dalam UU tersebut di atas, dimungkinkan adanya pemekaran daerah, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan terjadi penggabungan daerah, atas usul DPRD dan Gubernur daerah bersangkutan. Hanya saja selalu yang dituntut adalah pemekarannya, sedangkan usulan penggabungan daerah sangat jarang diajukan.

Demikian nuansa yang berkembang dalam Seminar Nasional Pemekaran Wilayah dalam Perspektif Sejarah yang dilaksanakan oleh Direktorat Kebudayaan dan Pariwisata di Medan 24 – 27 April 2007 yang lalu. Bahkan Dirjen Sejarah dan Purbakala dalam sambutannya juga menyuarakan kerisauan beliau tentang nasib keutuhan NKRI berikutan dengan gencarnya pemekaran wilayah. Karena tidak kurang ekses konflik horizontal dan vertikal terjadi sangat keras dalam perjuangan pemekaran wilayah tersebut. Dan apabila ini berlangsung terus, dikhawatirkan akan mengancam keutuhan nsional dan mengancam keharmonisan hubungan sosial di tingkat lokal.

Pada beberapa daerah, pemekaran wilayah justru dipandang sebagai ajang pemekaran birokrasi yang berujung pada pemborosan anggaran negara untuk membiayai daerah-daerah baru dimekarkan melalu Dana Alokasi Umum (DAU). Disinyalir, keinginan untuk membentuk kabupaten/kota baru lebih bermotifkan pada upaya untuk merebut DAU tersebut.

Selain itu, motif kepentingan politik elit lokal juga selalu mewarnai gegap gempitanya daerah-daerah memekarkan wilayahnya. Misalnya untuk menambah jabatan-jabatan struktural baru, dan calon-calon Gubernur, Bupati/Walikota, dan pembentukan DPRD baru. Bagi elit lokal yang kalah dalam Pilkada atau Caleg yang belum mendapat kursi di DPRD induk, wacana pemekaran wilayah bisa menjadi harapan baru untuk merebut jabatan penting di wilayah baru tersebut.

Prof Dr. Mestika Zed dari Universitas Negeri Padang, merisaukan pandangan saya yang agak krontroversial dari arus utama pandangan para peserta seminar. Tapi beliau dapat memaklumi pandangan saya, karena memang untuk kasus Provinsi Kepri, fakta dinamika pembangunan pasca pemekaran wilayah sejak 1999 hingga 2007, menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan. Kawasan Kepri menjadi tumpuan harapan sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Nasional melalui gerbang masuknya investasi ke wilayah ini, terutama dengan ditetapkannya tiga kawasan Bintan, Batam dan Karimun (BBK) sebagai Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zone).

Baca selengkapnya...

KULIAH UMUM DR NURAIDA MOHSEN

Setelah OPSPEK berakhir, diadakan Malam Keakraban Mahasiswa STISIPOL di lapangan Parkir kampus, dengan acara mendengarkan Kuliah Umum yang disampaikan oleh Dr. Ir. Nuraida Mohsen, MA ( Kepala Bappeda Provinsi Kepri).

Ibu yang biasa dipanggil bu Ida ini menyampaikan selain pengalaman akademik beliau selama menimba ilmu S2 di Amerika Serikat, dan S3 di Australia, juga beliau berbagi cerita tentang suka dukanya mempraktekkan ilmu dalam dunia birokrasi. Tidak selamanya apa yang kita pelajari di dunia akademik akan sejalan dengan pengalaman kita di dunia birokrasi, oleh karena itu, ibu yang masih terlihat cantik ini memberikan motivasi kepada para mahasiswa STISIPOL untuk melakukan berbagai kajian praktek governance dengan tetap mengacu kepada kerangka ideal yang terdapat di dalam teori, sehingga dapat dipertemukan antara dunia ilmu dan dunia kerja.

Selanjutnya Doktor perempuan kelahiran Serasan Natuna ini menyempatkan menyumbangkan lagu "My Way" atas permintaan para mahasiswa. Lumayan juga....

Baca selengkapnya...

Kamis, 09 Agustus 2007

Baca selengkapnya...

Rabu, 08 Agustus 2007

MEMPERTIMBANGKAN AKLAMASI DALAM PILKADA

Memberikan suara dalam suatu pemilihan pejabat politik secara bebas dan fair merupakan salah satu indikator partisipasi politik yang tinggi, dan sekaligus menggambarkan berjalannya demokrasi secara umum. Kontestasi dan kompetisi di antara para kandidat yang berminat menduduki jabatan-jabatan politik diatur dengan mekanisme pemilihan yang cermat agar, proses demokrasi menghasilkan pemimpin yang mendapat dukungan legitimasi yang memadai, sekaligus berkualitas.

Persoalannya adalah bahwa kita sedang berada pada puncak demokrasi dengan pemilihan langsung untuk jabatan politik, baik bagi Presiden maupun Kepala Daerah. Dalam pemilihan langsung, memang faktor figuritas dan popularitas menjadi unsur yang dominan menentukan preferensi pilihan publik. Untuk jabatan kepala Negara, tentu akan kita hadapi ramai kontestan atau kandidat yang memenuhi selera popular, sehingga tersedia banyak pilihan dalam kontestasi politik di tingkat nasional.

Lain halnya dengan di tingkat daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Pada beberapa daerah, akan ditemukan kelangkaan tokoh atau figur yang memenuhi standar popularitas sekaligus kualitas, sehingga bisa terjadi para kandidat yang bersaing dalam Pilkada adalah sama-sama “pisang busuk”, sehingga menyulitkan bagi publik untuk melepaskan suaranya dalam pilkada langsung. Ini menyangkut nasib warga suatu daerah. Apalagi kesempatan untuk mencalonkan diri harus menggunakan perahu partai politik, dan masih tertutup peluang bagi calon independen. Amat sulit mempercayai bahwa partai-partai politik melakukan rekrutmen pemimpin politik berdasarkan rasionalitas dan obyektifitas. Seringkali biaya tiket perahu yang mahal menjadi penghalang munculnya calon-calon berkualitas sekaligus popular, tetapi berkantong tipis.

Karena itulah, semakin besarnya desakan wacana untuk memungkinkan calon independen ikut dalam kontestasi pilkada. Alasannya tentu karena peraturan perundangan tidak mengatur hal tersebut, sehingga amat riskan bagi KPUD meloloskan calon independen.

Bagaimana pula bila kontestan terbatas dan bahkan bila tidak ada figur populer yang berkualitas bisa ditampilkan dalam pilkada? Mungkinkah pilkada dilakukan dengan cara aklamasi? Dan benarkah aklamasi menyimpang dari semangat demokrasi?

Wacana aklamasi belum seramai wacana calon independen dalam diskusi pilkada langsung. Ia merupakan salah satu bentuk dari pemilihan langsung, dengan calon tunggal yang disepakati bersama oleh semua warga. Suatu mekanisme demokrasi langsung yang mempunyai akar historis dalam masyarakat kita jauh sebelum penjajahan Barat mengintervensi tatacara kita. Tentu saja ini akan menghemat sebagian besar anggaran pilkada, dan sekaligus mengurangi resiko politik pasca pilkada yang tak kalah mahal harganya.

Tetapi tentu ada alasan menolaknya, misalnya karena itu tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, sebagaimana halnya dengan wacana calon independen. Akan ada yang mempersoalkan keabsahan mekanisme aklamasi dengan ukuran demokrasi langsung konvensional.

Sebagaimana halnya dengan wacana calon independen, wacana mekanisme aklamasi bisa saja dipertimbangkan dalam perubahan peraturan undang-undang, demi tetap menjaga agar jangan sampai terjadi deadlock atau kekosongan pemerintahan yang berkepanjangan ketika tidak ada calon-calon yang memiliki kapasitas untuk mencalonkan diri. Atau mungkin karena posisi sang incumbent yang terlalu kuat sehingga kecil kemungkinan untuk disaingi.

Ini hanya wacana yang perlu dipertimbangkan dalam perundang-undangan kita.

Oleh: Drs. Zamzami A Karim, M.A

Ketua STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Wakil Ketua KAGAMA Tanjungpinang

Baca selengkapnya...