Minggu, 04 November 2007

Dominasi Pasar dan Negara Terhadap Budaya Lokal


Makalah untuk diskusi Budaya bertema “Pengaruh SEZ terhadap Budaya Lokal” oleh Dewan Kesenian Propinsi Kepri tanggal 3 November 2007 di Tanjungpinang.

Pengantar

Kebudayaan pada dasarnya merupakan produk kemanusiaan manusia. Karena nilai kemanusiaanlah maka sebuah kebudayaan dapat diangkat menjadi produksi yang memiliki arti dalam kehidupan sebuah bangsa. Oleh karena produk kebudayaan sangat inheren di dalam aktifitas akal budi manusia dalam merespon berbagai dinamika persoalan dalam kehidupan, maka lama kelamaan kebudayaan itu akan mengalami perubahan sesuai dengan setting ipoleksobud hankam yang dihadapi oleh bangsa tersebut.

Memperhatikan kedinamisan tiga unsur Pasar, Negara dan Masyarakat sebagai satu kesatuan, maka relasi ketiga unsur
tersebut juga sangat diwarnai oleh setting sebagaimana disebutkan di atas. Ipoleksosbud Hankam, sebuah kerangka setting kehidupan sebuah bangsa memberi warna dan bentuk kepada relasi tiga unsur tersebut. Pada suatu ketika, Negara bisa sangat mendominasi kedua unsur lainnya, adakalanya Masyarakatlah yang menentukan, dan ada ketika lain dimana Pasarlah yang mendiktekan relasi tersebut. Maka dari itu, untuk mendiskusikan topic kita pada kali ini, maka kita harus menakar kekuatan manakah dari ketiga unsur tersebut yang ‘hari-hari gini’ memegang kendali dominasi. Dengan demikian kita dapat pula membaca warna IPOLEKSOSBUD HANKAM negeri ini.

SEZ: Dominasi Pasar ataukah Negara?

Sebelum membedah pengaruh SEZ terhadap Budaya Lokal, perlu kiranya memahami situasi seperti apakah yang mewarnai begitu mengebu-gebunya kita minta dijadikan daerah ini sebagai SEZ alias KEKI? Apakah ia merupakan kebutuhan masyarakat untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi menuju cita-cita kesejahteraan? Ataukah ia merupakan setting yang dirancang oleh Negara (baca: Pusat) secara struktural dalam mengatasi dua tantangan, yaitu globalisasi ekonomi berwarna neolib[1]) dan kelangkaan sumber daya domestik untuk mempertahankan sustainabilitas kekuasaan. Posisi ‘terjepit’ Negara menunjukkan adanya pemain lain, yaitu kekuatan Pasar yang dibawa oleh arus globalisasi neolib.

Bila dilihat secara struktural, kekuatan Negara dan Pasar seringkali berorientasi pragmatis, berjangka pendek, dan bersifat instant. Negara butuh sumberdaya yang cukup untuk ‘menjadi bensin pembakar’ mesin pembangunan yang memerlukan keputusan dan cepat ketersediaan yang segera. Nah, Pasar adalah pemain rasional, yang tentu saja sangat pragmatis meraih dan mengejar berbagai peluang untuk akumulasi modal dan kekayaan. Tidak banyak pemain dalam wilayah Pasar yang berasal dari penduduk tempatan, biasanya berasal dari luar daerah, bahkan umumnya expatriate. Jangan diharapkan adanya nasionalisme, kesetiaan, dan toleransi di wilayah ini. Yang berlaku adalah hukum rimba ekonomi laizzes faire.

Ketika Negara terdesak, dapatkah Masyarakat memenuhi keinginannya? Bila tidak, maka Pasar akan mengambil peran besar dan bisa jadi mengubah peran negara sebagai alat komprador alias budak bagi kepentingan pelaku Pasar. Mengapa kepada masyarakat harapannya pesimis?

Budaya Lokal: Untuk Apa?

Bila SEZ adalah kebutuhan masyarakat, maka perubahan yang berlangsung harusnya bersifat kultural. Pendekatan kultural lebih memakan waktu yang lama, tetapi memiliki daya tahan yang tinggi. Bila SEZ bertujuan untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan bagi masyarakat, maka tentu saja kultur masyarakat harus dibangun agar tidak menjadi budak atau kuli di dalam wilayahnya sendiri[2].

Dalam konteks inilah, saya melihat SEZ selain sebagai ancaman terhadap eksistensi budaya lokal, bisa pula sebagai restrospeksi menggali kembali nilai budaya progresif yang dimiliki oleh kaum Melayu berkurun-kurun yang lalu. Bukankah, bangsa Melayu pernah menguasai pasar pada 5 abad (?) yang lalu?

Pernah ada keyakinan bahwa usaha demikian memiliki titik cerah, ketika Syed Hussein Alatas seorang sosiolog dari Malaysia menulis buku dengan judul The Myth of Lazy Native. Bahwa cercaan terhadap orang tempatan yang selalunya lebih malas, tidak kompetitif, dan terbelakang ketimbang pendatang adalah hanya sebuah mitos yang diciptakan. Kalau demikian, bisakan melalui SEZ ini, kaum tempatan mewarnai budaya pasca masuknya pengaruh globalisasi pasar ekonomi neolib?

Sekali lagi, bahwa kebudayaan adalah merupakan produk kemanusiaan manusia. Jadi ia dihasilkan oleh kesadaran yang sesadar-sadarnya akan realitas kehidupan yang dinamis dan terus berubah. Istilah ‘budaya lokal’ mengandung konotasi (maaf) kejumudan. Kecuali bila kita percaya bahwa budaya yang dimiliki masyarakat tempatan memang luhur, mulia, progresif dan adalah produk kesadaran kemanusiaan manusia dimana ia hidup dinamis dalam setting sosio-kultural yang tak mengenal jeda.

Seorang sosiolog terkemuka Daniel Bell dalam bukunya The Future of Technology (2001) mengidentifikasi manusia secara taksonomi di samping sebagai homo sapiens, manusia juga merupakan homo faber dan homo pictor. Sebagai homo sapiens, diartikan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir, thingking or knowing man. Bell mengatakan: Homo faber is a being capable of fabricating things: a toolmaker. Homo pictor is a being who can picture things: an imaginator

Jadi manusia di samping memiliki kemampuan berpikir dan berimajinasi, ia juga diberi kelebihan untuk menciptakan barang sesuatu. Hanya pertanyaannya adalah if you can imagine things, can you also make them? Perbedaan kemampuan inilah yang kemudian membentuk perbedaan taraf kebudayaan dan teknologi sesuatu masyarakat. Sangat banyak kita jumpai orang yang bisa berimajinasi, tetapi sedikit sekali yang mampu mencipta wujudnya. Misalnya, dulu orang berimajinasi merindukan sampai ke bulan, tetapi yang mewujudkannya baru sedikit.

Jadi ketinggian atau keunggulan karya budi manusia yang kita sebut budaya itu, adalah produk kesadaran atas realitas kehidupan yang dinamis, yang justru memberi bentuk dan arah bagaimana relasi antar unsur Masyarakat, Negara dan Pasar yang seharusnya. Kalau kita sedang menggebu-gebu mewujudkan SEZ di kawasan ini, jangan-jangan itulah taraf kebudayaan kita, karena melalui sistem budaya yang kita setting secara struktural itulah, pemenuhan kebutuhan fisik dan moral akan “dimainkan“.

Berkaitan dengan adanya SEZ ini, mengapa kita mempersoalkan nasib budaya lokal? Kalau SEZ merupakan kebutuhan masyarakat, maka tugas komponen masyarakat untuk memberi ruh dinamis kepada kesadaran manusia lokal agar ‘melek’ alias bangun dari mimpi manja mereka. Karena, secara substantif harus disadari bahwa Negara dan Pasar sedang memegang kendali dominasi, bukan masyarakat.

Wallahua’lam



[1] Mengenai gempuran globalisasi terhadap politik dan kebijakan nasional dapat dibaca juga buku Jacques B Gelinas, Juggernaut Politics: Understanding Predatory Globalization, LondonNew York: Zed Books, 2000. & Globalisasi digambarkan seperti kendaraan besar yang melaju kencang, juggernauts.

[2] Mengenai pandangan yang mendukung globalisasi dan menolak anggapan bahwa globalisasi melindas kekuatan lokal dari negara-negara miskin dikemukakan oleh dua orang editor dan koresponden The Economist yaitu John Micklethwait & Adrian Wooldridge, Masa Depan Sempurna: Tantangan dan Janji Globalisasi, Jakarta: Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, 2006.


Tidak ada komentar: