Makalah untuk diskusi Budaya bertema “Pengaruh SEZ terhadap Budaya Lokal” oleh Dewan Kesenian Propinsi Kepri tanggal
tersebut juga sangat diwarnai oleh setting sebagaimana disebutkan di atas. Ipoleksosbud Hankam, sebuah kerangka setting kehidupan sebuah bangsa memberi warna dan bentuk kepada relasi tiga unsur tersebut. Pada suatu ketika, Negara bisa sangat mendominasi kedua unsur lainnya, adakalanya Masyarakatlah yang menentukan, dan ada ketika lain dimana Pasarlah yang mendiktekan relasi tersebut. Maka dari itu, untuk mendiskusikan topic kita pada kali ini, maka kita harus menakar kekuatan manakah dari ketiga unsur tersebut yang ‘hari-hari gini’ memegang kendali dominasi. Dengan demikian kita dapat pula membaca warna IPOLEKSOSBUD HANKAM negeri ini.
Sebelum membedah pengaruh SEZ terhadap Budaya Lokal, perlu kiranya memahami situasi seperti apakah yang mewarnai begitu mengebu-gebunya kita minta dijadikan daerah ini sebagai SEZ alias KEKI? Apakah ia merupakan kebutuhan masyarakat untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi menuju cita-cita kesejahteraan? Ataukah ia merupakan setting yang dirancang oleh Negara (baca: Pusat) secara struktural dalam mengatasi dua tantangan, yaitu globalisasi ekonomi berwarna neolib[1]) dan kelangkaan sumber daya domestik untuk mempertahankan sustainabilitas kekuasaan. Posisi ‘terjepit’ Negara menunjukkan adanya pemain lain, yaitu kekuatan Pasar yang dibawa oleh arus globalisasi neolib.
Ketika Negara terdesak, dapatkah Masyarakat memenuhi keinginannya? Bila tidak, maka Pasar akan mengambil peran besar dan bisa jadi mengubah peran negara sebagai alat komprador alias budak bagi kepentingan pelaku Pasar. Mengapa kepada masyarakat harapannya pesimis?
Budaya Lokal: Untuk Apa?
Bila SEZ adalah kebutuhan masyarakat, maka perubahan yang berlangsung harusnya bersifat kultural. Pendekatan kultural lebih memakan waktu yang lama, tetapi memiliki daya tahan yang tinggi. Bila SEZ bertujuan untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan bagi masyarakat, maka tentu saja kultur masyarakat harus dibangun agar tidak menjadi budak atau kuli di dalam wilayahnya sendiri[2].
Dalam konteks inilah, saya melihat SEZ selain sebagai ancaman terhadap eksistensi budaya lokal, bisa pula sebagai restrospeksi menggali kembali nilai budaya progresif yang dimiliki oleh kaum Melayu berkurun-kurun yang lalu. Bukankah, bangsa Melayu pernah menguasai pasar pada 5 abad (?) yang lalu?
Pernah ada keyakinan bahwa usaha demikian memiliki titik cerah, ketika Syed Hussein Alatas seorang sosiolog dari
Sekali lagi, bahwa kebudayaan adalah merupakan produk kemanusiaan manusia. Jadi ia dihasilkan oleh kesadaran yang sesadar-sadarnya akan realitas kehidupan yang dinamis dan terus berubah. Istilah ‘budaya lokal’ mengandung konotasi (maaf) kejumudan. Kecuali bila kita percaya bahwa budaya yang dimiliki masyarakat tempatan memang luhur, mulia, progresif dan adalah produk kesadaran kemanusiaan manusia dimana ia hidup dinamis dalam setting sosio-kultural yang tak mengenal jeda.
Seorang sosiolog terkemuka Daniel Bell dalam bukunya The Future of Technology (2001) mengidentifikasi manusia secara taksonomi di samping sebagai homo sapiens, manusia juga merupakan homo faber dan homo pictor. Sebagai homo sapiens, diartikan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir, thingking or knowing man.
Jadi manusia di samping memiliki kemampuan berpikir dan berimajinasi, ia juga diberi kelebihan untuk menciptakan barang sesuatu. Hanya pertanyaannya adalah if you can imagine things, can you also make them? Perbedaan kemampuan inilah yang kemudian membentuk perbedaan taraf kebudayaan dan teknologi sesuatu masyarakat. Sangat banyak kita jumpai orang yang bisa berimajinasi, tetapi sedikit sekali yang mampu mencipta wujudnya. Misalnya, dulu orang berimajinasi merindukan sampai ke bulan, tetapi yang mewujudkannya baru sedikit.
Jadi ketinggian atau keunggulan karya budi manusia yang kita sebut budaya itu, adalah produk kesadaran atas realitas kehidupan yang dinamis, yang justru memberi bentuk dan arah bagaimana relasi antar unsur Masyarakat, Negara dan Pasar yang seharusnya. Kalau kita sedang menggebu-gebu mewujudkan SEZ di kawasan ini, jangan-jangan itulah taraf kebudayaan kita, karena melalui sistem budaya yang kita setting secara struktural itulah, pemenuhan kebutuhan fisik dan moral akan “dimainkan“.
Wallahua’lam
[1] Mengenai gempuran globalisasi terhadap politik dan kebijakan nasional dapat dibaca juga buku Jacques B Gelinas, Juggernaut Politics: Understanding Predatory Globalization,
[2] Mengenai pandangan yang mendukung globalisasi dan menolak anggapan bahwa globalisasi melindas kekuatan lokal dari negara-negara miskin dikemukakan oleh dua orang editor dan koresponden The Economist yaitu John Micklethwait & Adrian Wooldridge, Masa Depan Sempurna: Tantangan dan Janji Globalisasi,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar