Rabu, 08 Agustus 2007

MEMPERTIMBANGKAN AKLAMASI DALAM PILKADA

Memberikan suara dalam suatu pemilihan pejabat politik secara bebas dan fair merupakan salah satu indikator partisipasi politik yang tinggi, dan sekaligus menggambarkan berjalannya demokrasi secara umum. Kontestasi dan kompetisi di antara para kandidat yang berminat menduduki jabatan-jabatan politik diatur dengan mekanisme pemilihan yang cermat agar, proses demokrasi menghasilkan pemimpin yang mendapat dukungan legitimasi yang memadai, sekaligus berkualitas.

Persoalannya adalah bahwa kita sedang berada pada puncak demokrasi dengan pemilihan langsung untuk jabatan politik, baik bagi Presiden maupun Kepala Daerah. Dalam pemilihan langsung, memang faktor figuritas dan popularitas menjadi unsur yang dominan menentukan preferensi pilihan publik. Untuk jabatan kepala Negara, tentu akan kita hadapi ramai kontestan atau kandidat yang memenuhi selera popular, sehingga tersedia banyak pilihan dalam kontestasi politik di tingkat nasional.

Lain halnya dengan di tingkat daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Pada beberapa daerah, akan ditemukan kelangkaan tokoh atau figur yang memenuhi standar popularitas sekaligus kualitas, sehingga bisa terjadi para kandidat yang bersaing dalam Pilkada adalah sama-sama “pisang busuk”, sehingga menyulitkan bagi publik untuk melepaskan suaranya dalam pilkada langsung. Ini menyangkut nasib warga suatu daerah. Apalagi kesempatan untuk mencalonkan diri harus menggunakan perahu partai politik, dan masih tertutup peluang bagi calon independen. Amat sulit mempercayai bahwa partai-partai politik melakukan rekrutmen pemimpin politik berdasarkan rasionalitas dan obyektifitas. Seringkali biaya tiket perahu yang mahal menjadi penghalang munculnya calon-calon berkualitas sekaligus popular, tetapi berkantong tipis.

Karena itulah, semakin besarnya desakan wacana untuk memungkinkan calon independen ikut dalam kontestasi pilkada. Alasannya tentu karena peraturan perundangan tidak mengatur hal tersebut, sehingga amat riskan bagi KPUD meloloskan calon independen.

Bagaimana pula bila kontestan terbatas dan bahkan bila tidak ada figur populer yang berkualitas bisa ditampilkan dalam pilkada? Mungkinkah pilkada dilakukan dengan cara aklamasi? Dan benarkah aklamasi menyimpang dari semangat demokrasi?

Wacana aklamasi belum seramai wacana calon independen dalam diskusi pilkada langsung. Ia merupakan salah satu bentuk dari pemilihan langsung, dengan calon tunggal yang disepakati bersama oleh semua warga. Suatu mekanisme demokrasi langsung yang mempunyai akar historis dalam masyarakat kita jauh sebelum penjajahan Barat mengintervensi tatacara kita. Tentu saja ini akan menghemat sebagian besar anggaran pilkada, dan sekaligus mengurangi resiko politik pasca pilkada yang tak kalah mahal harganya.

Tetapi tentu ada alasan menolaknya, misalnya karena itu tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, sebagaimana halnya dengan wacana calon independen. Akan ada yang mempersoalkan keabsahan mekanisme aklamasi dengan ukuran demokrasi langsung konvensional.

Sebagaimana halnya dengan wacana calon independen, wacana mekanisme aklamasi bisa saja dipertimbangkan dalam perubahan peraturan undang-undang, demi tetap menjaga agar jangan sampai terjadi deadlock atau kekosongan pemerintahan yang berkepanjangan ketika tidak ada calon-calon yang memiliki kapasitas untuk mencalonkan diri. Atau mungkin karena posisi sang incumbent yang terlalu kuat sehingga kecil kemungkinan untuk disaingi.

Ini hanya wacana yang perlu dipertimbangkan dalam perundang-undangan kita.

Oleh: Drs. Zamzami A Karim, M.A

Ketua STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Wakil Ketua KAGAMA Tanjungpinang

1 komentar:

Suhardi Mukhlis mengatakan...

Mana mungkiinnn...