Senin, 01 Oktober 2007

BERKACA: MELIHAT KE DALAM DIRI

Ramadhan sering pula dianalogikan sebagai bulan latihan, karena amalan-amalan yang diwajibkan dan dianjurkan pada bulan itu mengandung pendidikan jiwa yang komprehensif. Ini berarti juga bahwa kurikulum pendidikan jiwa di bulan Ramadhan baru dapat dikatakan berhasil apabila tercermin dalam perilaku pada bulan-bulan lain pasca Ramadhan.

Secara naluriah manusia menjadi sangat sensitif ketika berada dalam keadaan lapar dan prihatin. Perut yang lapar kadang-kadang membuat akal menjadi cerdas, tetapi bisa juga menjadikan orang gelap mata. Puasa melatih orang yang biasanya kekenyangan untuk merasakan lapar sebagaimana orang-orang yang kurang beruntung sering rasakan.

Membandingkan kondisi orang lain dengan kondisi diri kita itulah yang merupakan bentuk pencerminan diri, berkaca melihat ke dalam diri dengan membandingkan keadaan di sekitar kita. Ada manusia yang mengungkapkan rasa jengkelnya bila kondisi dirinya tidak sebaik orang lain, lalu bersyukur bila keadaan sebaliknya.

Dalam firman-Nya Allah SWT telah mengingatkan sifat manusia memang demikian. Adapun manusia apabila Tuhan mengujinya dengan kemuliaan dan kesenangan, mereka berkata: "Tuhanku telah memuliakanku”. (Namun) bila Tuhannya mengujinya dengan kesempitan rizki, maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku” (QS. Al Fajr 89:15-16).

Padahal, cobaan yang diberikan Allah kepada manusia bisa berupa kesempitan juga bisa berupa kelapangan. Bisa berupa kemelaratan, bisa juga berupa kemewahan dunia. Lalu manusia sering lupa berkaca, bahwa apa yang diperoleh dalam kehidupan di dunia ini adalah seolah-olah tanpa intervensi Allah SWT.

Puasa di bulan Ramadan sebenarnya merupakan bentuk pendidikan jiwa manusia untuk memiliki kemampuan mengaca diri secara jernih dan cerdas. Sensitifitas jiwa manusia ketika menahan lapar dan dahaga, menunda kenikmatan dunia untuk mengejar kemajuan yang jauh ke depan seharusnya dapat diaplikasikan dalam perilaku sehari-hari.

Rasul SAW mengingatkan bahwa ”banyak orang yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga dari puasanya”, tetapi tidak mendapatkan hikmah didikan dari amalan puasa tersebut. Jadi kadang-kadang manusia sengaja melepaskan urusan amalan ibadah wajib keagamaan umpama sholat, puasa, zakat dan haji dari pembentukan perilaku sehari-hari.

Walaupun sholat tak pernah tinggal, kelihatan khusyuk, tetapi perilaku menegakkan sholat itu tidak muncul dalam perilaku sehari-hari, seperti arogansi, curang, mengkhianati kepercayaan orang lain, merampas hak orang lain, merampok dan korupsi. Jamaah Haji yang terus-menerus bertambah tidak mengubah masyarakat menjadi semakin tunduk kepada kebesaran Allah, malahan jamaah korupsi juga tak mau kalah makin bertambah.

Puasa yang mengandung didikan agar manusia mampu menahan diri dari berbagai godaan nafsu, tetapi semakin penuh dan tanpa rasa berdosa nafsu terus diumbar. Sebagai umpama nafsu untuk mencaci dan menfitnah saudara sendiri yang seiman kian menjadi kebanggaan.

Zakat yang memberi didikan agar kita peka terhadap kesulitan hidup orang lain, mengaplikasikan ’tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah’, tetapi kita makin pelit dan tak perduli mana harta yang halal, dan mana pula hak orang yang termakan oleh kita. Bangsa kita hampir terjebak menjadi bangsa peminta-minta.

Karena itulah puasa Ramadhan yang diikuti dengan peningkatan intensitas ibadah lainnya sepatutnya akan memperbaiki kualitas moral dan jiwa bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim ini. Namun, karena kurang memiliki kemampuan mengaca diri, introspeksi, dan kurang pula rasa syukur, maka bala bencana tak rundung henti menimpa negeri tercinta ini. Kekompakan dalam menata bangsa yang hampir porak-poranda seharusnya menjadi modal sosial dan politik yang utama. Latihan Ramadhan sepatutnya diaplikasikan dalam praktek kehidupan sehari-hari pasca Ramadhan agar bangsa ini dihormati.

Benarlah kata Menteri Sosial Bachtiar Hamsyah, bila bangsa ini miskin, kita tak akan dipandang oleh orang lain. Bila sesama bangsa kita tak saling memperkuat, maka dengan mudah bangsa lain akan meremehkan kita. Nah, dengan demikian puasa juga sebenarnya memberi pelajaran dan pencerminan kepada masing-masing diri kita untuk meningkatkan harkat martabat sebagai bangsa yang tangguh dan utuh, bangsa yang bermarwah, bukan bangsa pecundang dan selalu dilecehkan. Naunzubillah.

Tidak ada komentar: