Sabtu, 11 Agustus 2007

Pemekaran Wilayah bukan masalah

Dalam suatu seminar nasional yang diselenggarakan di Medan 24-27 April 2007, saya mengemukakan pendapat bahwa Pemekaran Wilayah jangan terlalu dipandang secara negatif.

Banyak contoh daerah-daerah yang dimekarkan bisa berkembang seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Walaupun kita tidak boleh menutup mata munculnya berbagai ekses negatif di beberapa
wilayah di Nusantara ini akibat konflik pemekaran wilayah.

Seminar tersebut membahas Pemekaran Wilayah Sumatera dalam Perspektif Sejarah yang diselenggarakan oleh Direktorat Geografi Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Makalah lebih lengkap akan saya posting secara terpisah.

Hampir semua pembicara dan peserta Seminar mengutarakan kerisauan mereka tentang semakin gencarnya daerah-daerah menuntut pemekaran wilayah sejak UU No. 22 Tahun 1999 dan kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan. Memang di dalam UU tersebut di atas, dimungkinkan adanya pemekaran daerah, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan terjadi penggabungan daerah, atas usul DPRD dan Gubernur daerah bersangkutan. Hanya saja selalu yang dituntut adalah pemekarannya, sedangkan usulan penggabungan daerah sangat jarang diajukan.

Demikian nuansa yang berkembang dalam Seminar Nasional Pemekaran Wilayah dalam Perspektif Sejarah yang dilaksanakan oleh Direktorat Kebudayaan dan Pariwisata di Medan 24 – 27 April 2007 yang lalu. Bahkan Dirjen Sejarah dan Purbakala dalam sambutannya juga menyuarakan kerisauan beliau tentang nasib keutuhan NKRI berikutan dengan gencarnya pemekaran wilayah. Karena tidak kurang ekses konflik horizontal dan vertikal terjadi sangat keras dalam perjuangan pemekaran wilayah tersebut. Dan apabila ini berlangsung terus, dikhawatirkan akan mengancam keutuhan nsional dan mengancam keharmonisan hubungan sosial di tingkat lokal.

Pada beberapa daerah, pemekaran wilayah justru dipandang sebagai ajang pemekaran birokrasi yang berujung pada pemborosan anggaran negara untuk membiayai daerah-daerah baru dimekarkan melalu Dana Alokasi Umum (DAU). Disinyalir, keinginan untuk membentuk kabupaten/kota baru lebih bermotifkan pada upaya untuk merebut DAU tersebut.

Selain itu, motif kepentingan politik elit lokal juga selalu mewarnai gegap gempitanya daerah-daerah memekarkan wilayahnya. Misalnya untuk menambah jabatan-jabatan struktural baru, dan calon-calon Gubernur, Bupati/Walikota, dan pembentukan DPRD baru. Bagi elit lokal yang kalah dalam Pilkada atau Caleg yang belum mendapat kursi di DPRD induk, wacana pemekaran wilayah bisa menjadi harapan baru untuk merebut jabatan penting di wilayah baru tersebut.

Prof Dr. Mestika Zed dari Universitas Negeri Padang, merisaukan pandangan saya yang agak krontroversial dari arus utama pandangan para peserta seminar. Tapi beliau dapat memaklumi pandangan saya, karena memang untuk kasus Provinsi Kepri, fakta dinamika pembangunan pasca pemekaran wilayah sejak 1999 hingga 2007, menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan. Kawasan Kepri menjadi tumpuan harapan sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Nasional melalui gerbang masuknya investasi ke wilayah ini, terutama dengan ditetapkannya tiga kawasan Bintan, Batam dan Karimun (BBK) sebagai Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zone).

Tidak ada komentar: